(BUKAN CERITA YANG
MENCEKAM, MELAINKAN SEBUAH PESAN DARI PENGHUNI)
Bulan April 2017, saya dan beberapa
teman saya pergi mendaki ke Gunung Artapela. Gunung yang katanya kecil – kecil
cabe rawit.Gunung ini terletak di Sukapura, Kertasari Kabupaten Bandung. Waktu
itu kita mendaki via jalur Pacet (Ketika masih dibuka).
Pendakian terlaksana dari obrolan
kami di kost an, “nanjak kuy” ajak si mamang tanjungsari, “hayu nanjak kemana”
kata si bibi rosi. Dari situ kita merundingkan gunung mana yang akan kita
datangi dan akhirnya terpilihlah gunung artapela.
Saya pun mengajak beberapa teman lagi
supaya dapet tumpangan kendaraan hehe. Akhirnya kita mendaki dengan jumlah 7
orang. Saya sudah menghubungi salah satu pengurus artapela dan meminta nya untuk
menjadi guide sekaligus porter karena di pendakian saya ke Artapela yang
pertama itu gagal karena NYASAR. Singkat cerita akhirnya kita mendaki sekitar
jam 4 sore, karena kita termasuk salah satu korban janji si mamang guide yang
janji mendaki jam 1 tapi ngaret (ternyata setelah ketemu dia di track, dia ada
rapat paripurna katanya. Posisinya dia nyusul kita).
Di sini kejadian itu dimulai. Entah
halusinasi atau mungkin memang benar, saya melihat ada “Gerbang” yang terlihat
sangat megah. Itu posisi gerbang nya sama ketika di pendakian pertama saya yang
nyasar, di situ saya jatuh karena capek dan udah lama nyari jalur yang bener
tapi NIHIL. Di tempat itu pula saya tiba-tiba dapet tasbih skitar 30 butir yang
tiba-tiba ada di dalam tas.
Balik lagi ke pendakian ke dua.
Dengan sedikit menunduk karena mulai melewati gerbang itu, saya dan bibi rosi
terpeleset karena saya terlalu takut untuk melihat kanan kiri yang “ramai”.
Karena kita semua santai, adzan maghrib kami masih dalam perjalanan. Ketika
adzan maghrib orang yang saya lihat di gerbang itu berbeda, mungkin berubah
wujud atau bagaimana saya masih kurang paham waktu itu karena masih belum
berkenalan dengan “Dunia Mereka”. Setelah setengah jam istirahat, si mamang
guide (Read:Mang UNO) ngajak lanjut lagi, “hayu lanjut lagi udah mau malem”
kita pun nurut sama mang uno.
Di sini saya udah mulai gak nyaman,
karena tiba – tiba ada mbak yang ngikutin tapi dia gak ganggu, dia cuma bilang
“hati-hati”. Saya gak bisa fokus ke pendakian karena dia terus ada di sebelah
kiri saya. Singkat cerita pas sampai di puncak dan pasang tenda dan beres
segalanya, tengah malam saya duduk di api unggun sama mang uno dan om boka,
saya mulai coba fokus interaksi sama mbak yang tadi. Setelah interaksi dan dpet
informasi tentang dia, saya ngerti gimana dulunya gunung ini, kehidupan dia
gimana sampai dia meninggal.
Dia (Mbak) gak ganggu, dan Cuma titip
pesan begini
“JANGAN
MENGOTORI TEMPAT INI, JAGA SOPAN SANTUN DAN JANGAN PERNAH MENANTANG KAMI
APALAGI MENANTANG ALAM INI.”
Karena kata mbak nya, banyak sekali
orang-orang yang tidak bertanggung jawab di sana dan akhirnya merusak tempat
mereka. Banyak yang saya lihat di sini, mulai dari tumpukan tanah yang
bercahaya kuning keemasan sampai kehidupan malam “mereka”.
Singkat cerita, saya ketemu sama
salah satu pengurus artapela (bukan mang uno) di salah satu kota di Jabar sebut
saja om Amor namanya. Karena saya masih penasaran, saya tanya lagi tentang
artapela dan kampung tersebut. Om Amor pun cerita yang dia ketahui tentang
Artapela dan kampung tersebut. Dan itu sama dengan apa yang saya lihat dan
dengan apa yang dikatakan Mbak waktu itu.
Hmmmmmmmmmmm.. jadi buat kalian para
pendaki gunung yang baik hati, saya minta untuk tetap menjaga etika kalian
ketika kalian berada di manapun dan kapanpun. Karena kita tidak tahu apakah
tuan rumahnya ramah atau tidak. Seramah – ramahnya tuan rumah, jika tamu nya
tidak bisa bisa menjaga etika pasti akan marah, begitupun dengan mbak dan nenek
yang ada di Gunung Artapela.
Salam
0 comments:
Posting Komentar