Rabu, 20 Mei 2020

GERBANG ARTAPELA


 (BUKAN CERITA YANG MENCEKAM, MELAINKAN SEBUAH PESAN DARI PENGHUNI)
Bulan April 2017, saya dan beberapa teman saya pergi mendaki ke Gunung Artapela. Gunung yang katanya kecil – kecil cabe rawit.Gunung ini terletak di Sukapura, Kertasari Kabupaten Bandung. Waktu itu kita mendaki via jalur Pacet (Ketika masih dibuka).
Pendakian terlaksana dari obrolan kami di kost an, “nanjak kuy” ajak si mamang tanjungsari, “hayu nanjak kemana” kata si bibi rosi. Dari situ kita merundingkan gunung mana yang akan kita datangi dan akhirnya terpilihlah gunung artapela.
Saya pun mengajak beberapa teman lagi supaya dapet tumpangan kendaraan hehe. Akhirnya kita mendaki dengan jumlah 7 orang. Saya sudah menghubungi salah satu pengurus artapela dan meminta nya untuk menjadi guide sekaligus porter karena di pendakian saya ke Artapela yang pertama itu gagal karena NYASAR. Singkat cerita akhirnya kita mendaki sekitar jam 4 sore, karena kita termasuk salah satu korban janji si mamang guide yang janji mendaki jam 1 tapi ngaret (ternyata setelah ketemu dia di track, dia ada rapat paripurna katanya. Posisinya dia nyusul kita).
Di sini kejadian itu dimulai. Entah halusinasi atau mungkin memang benar, saya melihat ada “Gerbang” yang terlihat sangat megah. Itu posisi gerbang nya sama ketika di pendakian pertama saya yang nyasar, di situ saya jatuh karena capek dan udah lama nyari jalur yang bener tapi NIHIL. Di tempat itu pula saya tiba-tiba dapet tasbih skitar 30 butir yang tiba-tiba ada di dalam tas.
Balik lagi ke pendakian ke dua. Dengan sedikit menunduk karena mulai melewati gerbang itu, saya dan bibi rosi terpeleset karena saya terlalu takut untuk melihat kanan kiri yang “ramai”. Karena kita semua santai, adzan maghrib kami masih dalam perjalanan. Ketika adzan maghrib orang yang saya lihat di gerbang itu berbeda, mungkin berubah wujud atau bagaimana saya masih kurang paham waktu itu karena masih belum berkenalan dengan “Dunia Mereka”. Setelah setengah jam istirahat, si mamang guide (Read:Mang UNO) ngajak lanjut lagi, “hayu lanjut lagi udah mau malem” kita pun nurut sama mang uno.
Di sini saya udah mulai gak nyaman, karena tiba – tiba ada mbak yang ngikutin tapi dia gak ganggu, dia cuma bilang “hati-hati”. Saya gak bisa fokus ke pendakian karena dia terus ada di sebelah kiri saya. Singkat cerita pas sampai di puncak dan pasang tenda dan beres segalanya, tengah malam saya duduk di api unggun sama mang uno dan om boka, saya mulai coba fokus interaksi sama mbak yang tadi. Setelah interaksi dan dpet informasi tentang dia, saya ngerti gimana dulunya gunung ini, kehidupan dia gimana sampai dia meninggal.
Dia (Mbak) gak ganggu, dan Cuma titip pesan begini
“JANGAN MENGOTORI TEMPAT INI, JAGA SOPAN SANTUN DAN JANGAN PERNAH MENANTANG KAMI APALAGI MENANTANG ALAM INI.”
Karena kata mbak nya, banyak sekali orang-orang yang tidak bertanggung jawab di sana dan akhirnya merusak tempat mereka. Banyak yang saya lihat di sini, mulai dari tumpukan tanah yang bercahaya kuning keemasan sampai kehidupan malam “mereka”.
Singkat cerita, saya ketemu sama salah satu pengurus artapela (bukan mang uno) di salah satu kota di Jabar sebut saja om Amor namanya. Karena saya masih penasaran, saya tanya lagi tentang artapela dan kampung tersebut. Om Amor pun cerita yang dia ketahui tentang Artapela dan kampung tersebut. Dan itu sama dengan apa yang saya lihat dan dengan apa yang dikatakan Mbak waktu itu.
Hmmmmmmmmmmm.. jadi buat kalian para pendaki gunung yang baik hati, saya minta untuk tetap menjaga etika kalian ketika kalian berada di manapun dan kapanpun. Karena kita tidak tahu apakah tuan rumahnya ramah atau tidak. Seramah – ramahnya tuan rumah, jika tamu nya tidak bisa bisa menjaga etika pasti akan marah, begitupun dengan mbak dan nenek yang ada di Gunung Artapela.


Salam

KENCONO BIRU

0 comments:

Posting Komentar