Senin, 07 Juni 2021

 


CIREMAI - 2021

Aku memutuskan kembali ke Ciremai, setelah lima tahun lamanya. Sejak gagal menapaki puncaknya di tahun 2016, Ciremai selalu menjadi janji yang kujaga untuk kembali. Saat itu, aku mendaki bersama lima orang teman, dengan ilmu yang minim dan persiapan fisik yang juga tidak mumpuni, nekat saja mendaki Ciremai. Alhasil, tidak berhasil sampai ke puncak, Langkah kaki terpaksa harus terhenti di Goa Walet, tempat tenda kemah kami didirikan, hanya tinggal sedikit lagi menuju puncak, sedih? Ah jangan tanya. Meski berada di ketinggian yang tidak jauh berbeda dengan gunung Pangrango, Ciremai memiliki tantangannya tersendiri.

Malam sebelumnya, tubuhku menggigil hebat, saluran pernafasan juga tidak berjalan baik, kondisi itu dirasa sejak melewati tanjakan berbatu yang kanan kirinya jurang itu, tepat di trek pendakian dari pos 5 menuju ke puncak dari jalur apuy.  Mental sudah jatuh, diikuti kondisi fisik yang semakin menurun. Dini hari saat yang lain bersiap mendaki ke puncak, aku harus pasrah hanya menunggu di tenda, seorang ketua tim dari rombongan lain menyarankan aku beristirahat, untuk memulihkan kondisi, terutama mempersiapkan perjalanan turun nanti. Matahari segera naik, semburat cahayanya menyebar ke seluruh penjuru langit, masya Allah, dan di atas sana pasti lebih indah. Untungnya aku sedikit terhibur, dengan pemandangan bunga edelweiss yang bermekaran cantik sekali.

Kini, setelah banyak belajar dari materi pembekalan AOPGI (Asosiasi Olahraga Pendakian Gunung Indonesia), aku mulai paham kalau kondisi yang saat itu aku alami termasuk ke dalam gejala AMS (Acute Mountain Sickness). AMS dapat dideteksi dari gangguan pernafasan karena kadar oksigen menipis, sakit kepala, mual, hingga kelelahan fisik yang akut. AMS dapat terjadi di antaranya ketika tubuh pendaki kesulitan beradaptasi di ketinggian tertentu, melakukan aktivitas pendakian yang terlalu cepat tanpa pemanasan. Wajar saja, saat itu aku tidak memahami manajeman pendakian sama sekali.

Lalu kesempatan itu datang, AOPGI yang kini berada di bawah naungan KORMI  menawarkan ajakan pendakian bersama ke gunung Ciremai, berikut memperingati hari Kebangkitan Nasional. Pada kesempatan itu juga bersamaan dengan momen pergantian nama KORMI (Komite Olahraga Masyarakat Indonesia) yang sebelumnya bernama FORMI (Federasi Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia).

 

Tanpa pikir panjang aku mengiyakan, hanya dua minggu persiapan, tapi dengan keyakinan yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Selain AOPGI, ada pula yang membantuku semakin yakin bisa berhasil menapaki puncak Ciremai kali ini. Sejak berkenalan dengan komunitas pendaki Tektok Bandung Adventure (TBA), tubuhku secara tidak langsung jadi terlatih menyesuaikan diri dengan ketinggian dan cuaca di gunung yang sering berubah-ubah. Tentu saja TBA kan punya jadwal mendaki seminggu sekali loh. Dari TBA juga akhirnya aku mengenal gunung-gunung di Bandung raya yang ternyata tersebar banyak sekali.


Sekitar pukul 03.00 WIB, aku bersama tim mendaki ke puncak Ciremai via jalur pendakian Apuy, kami berangkat dari pos 5, tempat berkemah. Ini terasa seperti nostalgia, bedanya kali ini puncak terasa semakin dekat, semakin yakin bisa kuraih. Meski dini hari, karena sudah membiasakan diri untuk mengatur pola pernafasan dengan baik, perjalanan jadi tidak begitu sulit. Tanjakan yang dulu sangat membuatku takut itu, malah jadi terlihat lebih indah, bintang-bintang gemerlapan di atap langit, mungkin dibandingkan rasa takut, aku lebih merindukan tempat ini. Tempat yang kujaga dengan janji untuk segera kembali, meski harus menunggu sampai 5 tahun lamanya. Mungkin sekitar pukul 05.00, akhirnya kami sampai di atas puncak. Aku hanya bisa langsung duduk di tepi kawah, memandang langit dini hari yang sebentar lagi berganti hangatnya cahaya matahari, menikmati momen langka itu. Aku benar-benar kembali, dengan kekuatan yang Allah beri untuk sampai ke atas sini. Belajar mengalahkan rasa takut, juga mengelola kelemahan diri sendiri.

Hanya Allah yang tahu, kapan kita siap mencapai tujuan kita. Mimpi yang selalu kita sediakan ruangnya di dalam ingatan. Jika saat itu aku tidak gagal, mungkin aku tak akan mengenal lebih banyak orang-orang baik yang saat ini aku kenal, aku tak akan menjelajah tempat yang lebih jauh lagi, aku tak akan mendapatkan ilmu yang lebih luas lagi, tentang gunung, ataupun tentang hidup ini. Allah mempersiapkan aku untuk perjalanan yang lebih indah. Jika saat ini aku melihat lagi ke belakang, maka hanya ada rasa syukur yang tak terhingga, betapa baiknya Allah menempaku dengan kegagalan. Memberiku kekuatan menggenapi apa yang belum sempat terselesaikan. Terimakasih Ciremai, kamu indah sekali.

From Nur Sholihah

0 comments:

Posting Komentar