CIREMAI - 2021
Aku memutuskan kembali ke Ciremai, setelah lima
tahun lamanya. Sejak gagal menapaki puncaknya di tahun 2016, Ciremai selalu
menjadi janji yang kujaga untuk kembali. Saat itu, aku mendaki bersama lima
orang teman, dengan ilmu yang minim dan persiapan fisik yang juga tidak
mumpuni, nekat saja mendaki Ciremai. Alhasil, tidak berhasil sampai ke puncak,
Langkah kaki terpaksa harus terhenti di Goa Walet, tempat tenda kemah kami
didirikan, hanya tinggal sedikit lagi menuju puncak, sedih? Ah jangan tanya.
Meski berada di ketinggian yang tidak jauh berbeda dengan gunung Pangrango,
Ciremai memiliki tantangannya tersendiri.
Malam sebelumnya, tubuhku menggigil hebat,
saluran pernafasan juga tidak berjalan baik, kondisi itu dirasa sejak melewati
tanjakan berbatu yang kanan kirinya jurang itu, tepat di trek pendakian dari
pos 5 menuju ke puncak dari jalur apuy. Mental
sudah jatuh, diikuti kondisi fisik yang semakin menurun. Dini hari saat yang lain
bersiap mendaki ke puncak, aku harus pasrah hanya menunggu di tenda, seorang
ketua tim dari rombongan lain menyarankan aku beristirahat, untuk memulihkan
kondisi, terutama mempersiapkan perjalanan turun nanti. Matahari segera naik,
semburat cahayanya menyebar ke seluruh penjuru langit, masya Allah, dan di atas
sana pasti lebih indah. Untungnya aku sedikit terhibur, dengan pemandangan
bunga edelweiss yang bermekaran cantik sekali.
Kini, setelah banyak belajar dari materi
pembekalan AOPGI (Asosiasi Olahraga Pendakian Gunung Indonesia), aku mulai
paham kalau kondisi yang saat itu aku alami termasuk ke dalam gejala AMS (Acute
Mountain Sickness). AMS dapat dideteksi dari gangguan pernafasan karena kadar
oksigen menipis, sakit kepala, mual, hingga kelelahan fisik yang akut. AMS
dapat terjadi di antaranya ketika tubuh pendaki kesulitan beradaptasi di
ketinggian tertentu, melakukan aktivitas pendakian yang terlalu cepat tanpa
pemanasan. Wajar saja, saat itu aku tidak memahami manajeman pendakian sama
sekali.
Lalu kesempatan itu datang, AOPGI yang kini
berada di bawah naungan KORMI menawarkan
ajakan pendakian bersama ke gunung Ciremai, berikut memperingati hari
Kebangkitan Nasional. Pada kesempatan itu juga bersamaan dengan momen
pergantian nama KORMI (Komite Olahraga Masyarakat Indonesia) yang sebelumnya
bernama FORMI (Federasi Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia).
Tanpa pikir panjang aku mengiyakan, hanya dua
minggu persiapan, tapi dengan keyakinan yang jauh lebih baik dari sebelumnya.
Selain AOPGI, ada pula yang membantuku semakin yakin bisa berhasil menapaki
puncak Ciremai kali ini. Sejak berkenalan dengan komunitas pendaki Tektok
Bandung Adventure (TBA), tubuhku secara tidak langsung jadi terlatih
menyesuaikan diri dengan ketinggian dan cuaca di gunung yang sering
berubah-ubah. Tentu saja TBA kan punya jadwal mendaki seminggu sekali loh. Dari
TBA juga akhirnya aku mengenal gunung-gunung di Bandung raya yang ternyata
tersebar banyak sekali.
Sekitar pukul 03.00 WIB, aku bersama tim mendaki
ke puncak Ciremai via jalur pendakian Apuy, kami berangkat dari pos 5, tempat
berkemah. Ini terasa seperti nostalgia, bedanya kali ini puncak terasa semakin
dekat, semakin yakin bisa kuraih. Meski dini hari, karena sudah membiasakan
diri untuk mengatur pola pernafasan dengan baik, perjalanan jadi tidak begitu
sulit. Tanjakan yang dulu sangat membuatku takut itu, malah jadi terlihat lebih
indah, bintang-bintang gemerlapan di atap langit, mungkin dibandingkan rasa
takut, aku lebih merindukan tempat ini. Tempat yang kujaga dengan janji untuk
segera kembali, meski harus menunggu sampai 5 tahun lamanya. Mungkin sekitar
pukul 05.00, akhirnya kami sampai di atas puncak. Aku hanya bisa langsung duduk
di tepi kawah, memandang langit dini hari yang sebentar lagi berganti hangatnya
cahaya matahari, menikmati momen langka itu. Aku benar-benar kembali, dengan
kekuatan yang Allah beri untuk sampai ke atas sini. Belajar mengalahkan rasa
takut, juga mengelola kelemahan diri sendiri.
Hanya Allah yang tahu, kapan kita siap mencapai
tujuan kita. Mimpi yang selalu kita sediakan ruangnya di dalam ingatan. Jika
saat itu aku tidak gagal, mungkin aku tak akan mengenal lebih banyak
orang-orang baik yang saat ini aku kenal, aku tak akan menjelajah tempat yang
lebih jauh lagi, aku tak akan mendapatkan ilmu yang lebih luas lagi, tentang
gunung, ataupun tentang hidup ini. Allah mempersiapkan aku untuk perjalanan
yang lebih indah. Jika saat ini aku melihat lagi ke belakang, maka hanya ada
rasa syukur yang tak terhingga, betapa baiknya Allah menempaku dengan
kegagalan. Memberiku kekuatan menggenapi apa yang belum sempat terselesaikan.
Terimakasih Ciremai, kamu indah sekali.
From Nur Sholihah
0 comments:
Posting Komentar