Perkenalkan, saya Qori
atau teman-teman sekitar saya biasa memanggil saya dengan sapaan akrab Qoqoy. Sudah 4 tahun belakangan ini
sejak saya masuk kuliah saya mulai jatuh cinta dengan alam bebas dimana saya
bisa mengeluh sekaligus bersyukur. Entah bagaimana bisa begitu padahal dulu
saya malas sekali mengikuti kegiatan outing
di sekolah, olahraga pun jarang, di kampus juga saya tidak mendaftarkan
diri sebagai anggota MAPALA. Tapi menurut saya, alam bebas selalu memberikan
rasa rindu walaupun kami belum pernah “bertemu” sebelumnya. Disisi lain, kegiatan ngalam menurut saya merupakan wujud apresiasi untuk diri saya
sendiri yang sudah mau diajak lelah setiap harinya.
-7 Maret 2019-
Pagi
itu isi chat diponsel saya ramai
dengan pertanyaan sejenis, begini bunyinya “Qoy,
jadi kan hari ini ke Bandung?”.
Tugas-tugas mahasiswa
semester akhir cukup membuat saya penat. Ingin rasanya istirahat sejenak untuk
menyegarkan kembali jiwa pun raga. Saya mengajak 12 orang kawan saya untuk
meliburkan diri sebentar dari ruwetnya tugas-tugas kuliah. Saat itu Artapela
jadi tujuan kami. Selain karena Bandung terbilang dekat dari kota asal kami di
Bogor, disana juga terdapat rumah kerabat kami yang bisa kami kunjungi. Lumayan
untuk mengurangi biaya akomodasi penginapan nanti hehe. Memang dasar Bogor Kota Hujan, cuaca rupanya tidak merelakan
kami untuk meninggal kota ini. Hujan mengguyur sejak pagi hingga malam tiba.
Persiapan kami sudah matang sehari sebelumnya yang membuat kami tidak mungkin
membatalkan perjalanan. Seperti biasa, rumah saya selalu jadi tempat berkumpul
sebelum kami berpergian. Oh iya, saya adalah satu-satunya perempuan dalam
perjalanan ini tapi tidak apa-apa saya sudah biasa menjadi satu-satunya
perempuan diantara mereka dan saya merasa aman berada ditengah-tengahnya. Saya
memang agak tomboy, teman-teman saya sering mengejek saya “jiga lalaki ditiungan” katanya hehe.
Hujan agak mengecil, kami memutuskan untuk berpamitan pada kedua orangtua
saya yang bagi teman-teman saya juga adalah orangtua mereka. 6 motor dengan
masing-masing menunggang 2 orang diatasnya saat itu mulai menancapkan gasnya.
Sayang sekali kala itu hujan terus mengguyur kami hingga sesampainya di
Bandung. Kuyup, dingin, lepek, lapar menjadi satu. Tibalah kami di rumah
kerabat kami di Bandung Barat lalu bermalam.
8 Maret 2019
Harum semerbak nasi
uduk di warung sebelah tercium hingga membuat kami bangun. Seusai mandi dan
sarapan kami berangkat menuju Artapela Bandung Selatan. Jumlah anggota yang
tadinya 12 (Saya, Aufal, Rian, Hasbi, Dimas, Rafjan, Ido, Zulla, Agil, Alvin,
Ari, Dhani) berubah menjadi 14 orang setelah kedua kerabat kami (Akbar dan
Deni) di Bandung memutuskan untuk ikut serta. Sepanjang perjalanan saya melihat
banyak sekali Bobotoh berjalan menuju stadion. Saya jadi bernostalgia saat 2015
lalu saya pernah menjadi salah satu supporter Persib yang bersorak sorai di
SJH. Seru sekali rasanya. Ditengah perjalanan kami berhenti untuk membeli
perbekalan guna memenuhi amunisi selama di Artapela sana. Tak terasa rupanya
arahan dari Google Maps telah
mengantarkan kami pada tempat tujuan. Tapi tunggu, seperti ada yg janggal.
Saat memasuki
wilayahnya, kami menemukan pipa-pipa besar menandakan seperti ada sebuah pabrik
disana. Perjalanan berhenti pada salah satu gerbang besar yang kami bingung apa
didalamnya. Tidak tahu mau bertanya pada siapa karena kami tak mendapati
keberadaan warga sekitar. Warung yang kami curigai sebagai tempat pengelola
Artapela pun nampaknya tak bertuan. Sinyal hilang, kami betul-betul dibuat
bingung. Dari kejauhan kami melihat ada motor mendekat dengan dua orang pemuda
membawa arit. Dua pemuda itu rupanya petani kebun sekitar. Mereka bertanya apa
dan kemana tujuan kami lalu kami jelaskan dengan terbata-bata, maklum kemampuan
berbahasa sunda halus kami dibawah rata-rata. Dua pemuda itu memberitahu bahwa
kami salah pintu masuk karena ternyata pintu masuk ini sudah ditutup. Benar
saja! Namun begitu, dua pemuda ini menawarkan solusi untuk dapat tetap masuk
lewat jalur ini dan menitipkan kendaraan kami pada mereka. Deal! Kami sepakat
dengan tawaran itu. Saya berjalan paling depan mengikuti salah satu pemuda tadi
yang menunjukan jalur lalu dibuntuti oleh beberapa teman saya dibelakang.
Pemuda itu hanya mengantar kami sampai perkebunan warga. “Dari sini ikutin jalur aja ya” tuturnya. Tanah yang gembur membuat
saya kesulitan berjalan dibeberapa menit pertama. Seringnya kami dibuat
terpukau setiap kali berhenti untuk istirahat sambil memandangi pemandangan
sekitar.
Lembayung senja membuat
kami tidak menyadari bahwa waktu maghrib sudah sangat dekat. Saat itu posisi
kami ada pada hamparan kebun kentang dan wortel yang luas. Jarang kami dapati
pohon rindang untuk berlindung sementara sehingga angin Artapela terasa menusuk
tubuh ini. Kami tidak mendapati lahan berkemah sama sekali hingga pada akhirnya
kami mendengar ”Woi! Disini!” diikuti
lambaian tangan diujung sana. Alhamdulillah, akhirnya ada petunjuk adanya
kehidupan. Kami berjalan menghampiri sekelompok orang yang terus memberikan
“sinyal” sembari kami jalan menghampiri. Layaknya kebanyakan orang di gunung,
sesampainya di camp area kami saling
bertegur sapa, bersalaman dengan pengunjung lain, basa-basi agar suasana
menjadi hangat. Ternyata mereka juga senang sekali dengan kedatangan kami
karena disana hanya ada satu tenda milik mereka saja saat itu. Kawan-kawan baru
kami ini agak heran“kok muncul dari sana
bang?” tanyanya pada salah satu teman saya. Ya, memang sejak awal tadi kita
sudah salah pintu masuk. Sayang sekali malam itu tidak satupun dari kami yang
ingat untuk membawa senter atau headlamp,
basa-basi kami dengan penghuni tenda sebelah berbuah baik, mereka menawarkan
bantuan penerangan saat kami memasang tenda-tenda untuk berlindung dari
dinginnya angin malam. Ada satu momen yang saya ingat sampai sekarang dimana
saat hendak menyantap makan malam, rupanya ada yang lebih dulu memantau
santapan kami. Anjing-anjing perkebunan sekitar yang jumlahnya dua atau tiga
saya tidak ingat, menghampiri tenda dengan tujuan mengambil jatah makan kami.
Teman-teman saya sadar betul diantara kami ber-empat belas hanya saya
satu-satunya tidak takut anjing, alhasil mereka suruh saya mengusir
anjing-anjing itu sementara mereka makan mie kemasan sambil thowaf mengelilingi tenda dengan mata
waspada memastikan gerak-gerik anjing-anjing itu tidak kembali ke tenda kami hihihi bila ingat kejadian itu saya agak
geli membayangkan wajah-wajah culun teman-teman saya :D
9 Maret 2019
Embun
pagi terasa membasahi tenda. Mentari pagi malu-malu menunjukkan pesonanya. Saya
keluar tenda membangunkan teman-teman di tenda lain. “Udah
pagi woi, bangun! Siapa mau kopi?” ucapku sembari menyiapkan kompor juga
nesting. Maasya Allah, pagi itu benar-benar pagi yang indah di Artapela.
Gundukan bukit-bukit terlihat indah. Seperti melihat bukit pada kartun favorit
saya semasa kecil dulu, Teletubies. Saya memilih menghabiskan sekotak susu dan roti
dibalik
bukit dan tidak lama kemudian teman-teman saya menyusul membawa segelas kopi
digenggamannya.
Pemandangan pagi dibalik bukit membuat saya banyak bersyukur bisa menikmati
ciptaan-Nya yang begitu sempurna. Matahari lambat laun meninggi. Sekitar jam 10
tim polda (polisi dapur) yang
beranggotakan saya dan Rian mulai sibuk memasak untuk kami makan siang sebelum
perjalanan turun. Minimnya persediaan air memaksa saya untuk masak ala cowboy alias sayur mayurnya hanya
dibersihkan tanpa dicuci hihi.
Masakan matang, teman-teman saya menyantap dengan nafsu dengan memuji hasil
masakan saya dan Rian yang menurut mereka enak sekali. Saya dan Rian saling
memandang menahan tawa, mereka tidak tahu saja masakan itu agak “jorok”
prosesnya :D
Selesai
berkemas kami kembali ke balik bukit untuk mengabadikan gambar dilatar
belakangi pemandangan Artapela yang luar biasa indah. Waktu “istirahat” kami
sudah habis disini. Sebelum pulang ke kota asal, saya meminta teman-teman
menemani saya keliling kota Bandung sebentar untuk mengobati rasa kangen
ini.Sudah saatnya kami kembali dengan tugas kami sebagai mahasiswa akhir.
Setidaknya pikiran kami sudah kembali segar dan kami kembali kuliah dengan aura
positif Artapela yang mungkin sampai saat ini meninggalkan bekas. Waktu
berlalu, saya dan teman-teman satu persatu meninggalkan bangku perkuliahan
dengan profesi yang berbeda-beda sekarang. Ingin rasanya kembali berkumpul
untuk kembali rehat sejenak bersama.
14 Mei 2020,
Berdiri kanan - kiri : Rafjan, Rian, Akbar, Zulla, Ido, Alvin, Agil, Dhani, Ari
Jongkok kanan - kiri : Deni, Hasbi,
Qori, Dimas
Jongkok kanan - kiri : Deni, Hasbi,
Aufal, Dimas
Date: Jum, 15 Mei 2020 00.08
Subject: Instagram account @qoripertiwi
Terimakasih sudah menjadi cheff kita walaupun sayurnya tidak dicuci, tapi tak apa karena saat itu corona belum muncul di bumi pertiwi ini. See you in next trip
BalasHapusAPA AJA
HapusHaha suka ngakak kalo inget proses pembuataan sayurnya. Tp alhamdulillah pd sehat yaaa :) see you next trip
BalasHapus