Rabu, 20 Mei 2020



Ditulis oleh        : Neelan Eka Yuniar
Facebook          : Neelan Eka Yuniar
Instagram          : @neelan88

“Cobain ke Artapela, Cuma kebun doang.” Pernyataan simpel dari seorang teman yang saat itu sedang gencar-gencarnya meracuni pikiran dan imajinasiku mengenai nikmatnya mendaki gunung. Hanya kenikmatan dan keindahannya. Jelas menggebu karena kala itu aku baru tersembuhkan dari rasa campuran antara sedikit penyesalan ditambah sedikit trauma setelah mendaki Gunung Rakutak untuk pertama kalinya pada Mei 2016. Untuk seorang pemula, apalagi perempuan yang jarang sekali berolahraga, atau bepergian jauh yang membuat tubuh terlatih dengan rasa lelah sampai bercucuran keringat, gunung tersebut cukup membuat aku sendiri sampai berucap “Alhamdulillah bisa sampe, tapi sumpah kedepannya gak akan lagi mau diajak muncak”. Aku tidak akan jelaskan alasan mengapa aku berkata demikian karena sebagian orang mungkin sudah tahu bagaimana medan dan jalur pendakian Gunung Rakutak bagi pemula perempuan ya, bukan bagi laki-laki apalagi yang sudah pro, jadi mohon bijak menanggapinya huhu ...
Masa-masa penyembuan dari trauma naik gunung berlangsung hingga pada awal agustus 2019 yang mulai tertarik “nikreuh” lagi karena tanpa disadari diri ini semakin dekat pada hal yang berhubungan dengan pendakian. Banyak teman yang secara konsisten menjajal beberapa gunung besar dan berbagi cerita. Hingga pada 16 Agustus 2019 aku Arth, diajak teman saya Tha dan Vela untuk nanjak dan bermalam di Gunung Artapela. Entah mengapa hati ini langsung yakin, antusias dan berani. Berani mendaki tanpa diantar teman laki-laki atau kenalan yang sudah pro.
Tiga perempuan lajang siap berangkat mendaki pada tanggal 17 Agustus 2019, aku yang kebetulan berprofesi sebagai Guru SMP Negeri didaerah tempatku tinggal sampai harus meminta izin untuk tidak mengikuti Upacara Hari Kemerdekaan pada saat itu karena memiliki  kesempatan langka dan merasa sudah sangat penat dengan jadwal yang padat. Tha, adalah pengusaha minuman yang saat ini sedang viral sekaligus pemilik tenda kece yang kami pakai untuk berkemah. Tidak banyak cerita tentang dia selain seorang yang sedikit pendiam namun “cengos” hanya ketika kami bersama. Satu lagi Vela, si pecinta teh dan kopi yang mungkin 80% tubuhnya sudah mengandung caffeine. Meskipun dia mengaku 85% tapi percayalah dia hanya bercanda. Mantan pemain boxing ketika masih kuliah jurusan Analis kimia, namun berakhir menjadi guru IPA di sekolah yang sama denganku. Ya .. kami rekan kerja.
Bermodalkan Google Map menuju basecamp Cirawa, sampailah kami sekira pukul 7.00 pagi dengan masing-masing Carriel overloadnya. Vela yang seperti “buyur” adalah orang yang paling rutin membutuhkan toilet. Aku  menyebutnya “Si usus lempeng”. Setelah Tha mengurus simaksi kami secara bergantian izin memakai toilet salah satu warga. Kekonyolan pertama dimulai dari Vela yang mengalami kemalangan “kancing coplok” sehingga harus meminjam bola untuk menyulam ulang kancing tersebut. Setelah bersiap kami berdoa untuk keselamatan pendakian. Start pukul 08.00 pagi, 15-20 menit berlalu kami berada di jalur yang dilalui motor trail, agak mengganggu memang karena kita harus menepi hingga menempelkan pada apapun yang ada disamping jalan.
.... the fire’s inside us, it’s out of control which way to go? Will never know
But you take me to places never beenbefore
I can’t take it no more, i’m yours .... (Jonas B & Chelcee – Wild)
Manusia tak luput dari dosa bukan? Dosa pertama yang kami lakukan adalah ketika tangan membutuhkan Trekking Pole, didepan mata disuguhkan ranting kering yang menghalangi jalan, jiwa tebas kami membara. Maafkan kami yang mencuri ranting namun kami tetap meminta izin ditempat ketika membuat Trekking Pole virtual tersebut sehingga kami rasa dosa kami tidak terlalu berat untuk kami tanggung bertiga. Apa sih yaa ..
.... geudaeneun eodie innayo, nohjimarajwo
Remember now to save me .... (Monogram – Lucid Dream)
Memang benar Artapela itu hanya kebun, tak ada hutan. Matahari yang masih terasa hangat ditubuh menjadi alasan rasa senang, nyaman dan bahagia ketika hanya melihat para petani yang sedang panen, melontarkan candaan, tertawa bersama dan semakin maju berlalu. Dari kejauhan nampak para pendaki yang turun terdengar bersorak ria, tanah kering berwarna coklat keemasan, warnanya cantik tersorot matahari pukul 09.00 pagi, mengasap akibat pijakan kaki para pendaki. Cantik namun tetap “kebul” guys apalagi kena mata sama hidung, “peurih” L.
.... geuttae urin seororeul bomyeo
sarangeul yaksokhae .... (BrotherSu & SE O – While you were sleeping)
Tiga puluh menit berlalu “salatri” tiba lebih awal, Vela membuka roti gulung selai strawberi buatan Ibu Fatmawati, lezat sekali. Posisi di hamparan kebun yang terlihat tandus karena baru beberapa hari sayuran seperti kentang, kol, dan wortel dipanen. Benar-benar kering dan bisa dibayangkan betapa “kebul”nya sepanjang tanah disana. Selain karena beban carriel yang subhanallah sekali, logistik yang berlebihan, perlengkapan tidur dan solat, peralatan masak yang luar biasa lengkap juga karena niat awal adalah nanjak santai maka santailah kami ini. Banyak pendaki tutun yang bilang “semangat teh 5 menit lagi” kami jawab “Bohong” yang diakhiri tertawa bersama. Teriak sekeras yang kita bisa, buang gas dengan santai dan bebas haha .. Keseruan-keseruan kecil yang sulit ditemukan jika bukan digunung.
.... made it through the maze to find my one in a million
Now you’re just a page torn from the story i’m living ... (MIIA – Dynasty)
Ucapan adalah doa, niat santai maka sampai ke puncakpun kami memakan waktu 5 jam di gunung Artapela. Malu sebenarnya..
.... arms, I’ll be safe in your sound ‘til I come back around
For now the day bleeds into nightfall .... (Lewis C – Someone You Loved)
Sedikit cerita tentang bagian pahit yang dialami Vela ketika 400-500 meter sebelum sampai ke puncak, dia mulai merasa ingin menyerah, sudah terlalu capek, panas yang sangat menyengat, bahunya lecet karena air sekitar 4-5 liter dia bawa sendiri, the best. Aku  sendiri tidak tahu penderitaannya sampai seperti itu karena aku sudah jauh memimpin didepan dengan pikiran bahwa salah satu dari kami harus cepat sampai dipuncak untuk menandai area dimana tenda akan kami dirikan, mengingat cukup banyak pendaki yang naik saat itu. Jujur saja kami adalah pendaki yang sedikit “ogoan”, ingin tempat yang nyaman dan tidak terlalu berisik dan yang pasti view adalah yang paling utama. Terimakasih atas pengorbananmu Vela, love you .. you are a true wonderwoman.
.... you don’t know me and you don’t know my style
Fast with the cash I just throw it in the bag, everything i wanna have,
Well I think you get the gist .... (CL - Lifted)
Pukul 01.00 siang kami merebahkan diri ditempat yang kami tandai dan mulai mendirikan tenda, serta berkeliling melihat sekitar sambil mencari keberadaan toilet yang merupakan hal terpenting bagi kami bertiga saat berkemah. Beberapa toilet darurat cukup banyak namun jauh dari kata layak. Kami ingat seorang bapak diperjalanan mengatakan jika kami membutuhkan bantuan, carilah Pak Cahyu. Beliau adalah penjaga puncak Artapela agar tetap aman, bersih dari sampah dan pusat informasi yang berhubungan dengan basecamp.
.... you make me sing “Ooh la la laa
You make a girl go “Ooh ooh” I’m in love, love .... (Echosmith - Bright)
Waktu berjalan cepat, kami menemui pak Cahyu dan disediakan air wudhu serta dipersilahan untuk menggunakan saung tempatnya beristirahat sebagai tempat solat zuhur. Setelah kembali ke tenda kami mulai melakukan ritual, membongkar isi carriel, menata makanan, alat masak dan pakaian ditempatnya masing-masing. Sungguh lebaynya kami adalah camping itu seolah-olah menginap di hotel. Tetapi kami adalah orang-orang yang berkomitmen dengan segala keinginan. Momen Hari Kemerdekaan itu kami maknai dengan bersyukur, karena merdeka itu sejahtera bukan? Tidak mengizinkan dirimu mengeluh pada keadaan apapun, maka sejahtera setara dengan bersyukur. Doa kami hari itu hanya meminta pada Tuhan YME untuk menjadikan kami manusia Indonesia yang ahli syukur.
.... If you lose your everything, think you can’t go back to the time
Keep in mind it’s not your fault, in the end I am gonna be with you .... (Dok2 & Mad Soul Child – Player)
Senja mulai tiba, keceriaan kami nikmati dengan mendengarkan musik-musik instrumental dan mengisi suara dengan lantunan lirik sehingga terdengar seperti konser bagi kami, harmonisasi tiga suara yang dipadukan medadak terdengar diluar dugaan. Menikmati teh Thailand untuk menghangatkan tubuh, menyantap mie instan yang dipadukan dengan tahu, sosis dan rumput laut, hingga tak sadar bahwa matahari senja yang sangat cantik mulai menyorotkan pesonanya, lekas kami mencari kamera untuk mengabadikan momen layung senja yang cukup cepat menghilang. Disinilah momen-momen mendebarkan sebagai seorang campcer lovers ketika berpacu dengan waktu senja, situasi masih aman dan tidak terlalu ramai.
.... You raise me up, so I can stand on mountain
You raise me up to walk on stormy seas .... (SH – You Raise Me Up)
Diujung pandang tersamar seorang pria muda yang tersenyum-senyum pada kami, semakin mendekat semakin jelas bahwa dia mengenal salah satu dari kami. “Bu, hehehehhe” teriak anak itu. Salah satu siswa Vela di SMK ternyata, namanya Nanang, hiking bersama seorang gadis, mungkin gebetannya, atau mungkin juga pacarnya, entahlah L. Mereka bergabung di depan tenda kami, setelah diperhatikan sepertinya mereka hanya membawa raga tanpa amunisi, lalu kami tawari makanan tapi sungguh angkuhnya mereka menolak sambil tertawa-tawa “Enggak bu ah sok aja buat ibu, takut ibu gak kenyang”. Sialnya ketika mereka akan turun karena hari sudah sore, mereka menitipkan sesuatu pada kami, satu buket sampah yang ia tabung dalam saku-sakunya selama mendaki, “Doraka pisan ka guru”. Oh ya gadis yang bersama dengan Nanang bernama Nining yang mungkin jika suatu saat berumah tangga dan menamai anaknya Nang Ning Ning Nang Eeuu, skip.
.... She works the night, by the water
She’s gonna stress, so far away from her father’s daughter .... (Hyolyn – Rockabye)
Azan magrib terdengar dari handphone Vela, kami bereskan kartu cangkulan joker tempe, lope, kriting dan pasung yang kami mainkan, cangkang kuaci yang lumayan membuat mulut kami keram, mengamankan Mic Abah yang saat itu launching perdana di atas gunung. Memasukkan semua barang-barang kami kedalam tenda dan mengeluarkan alat solat, tisu, headlamp, dan mengumpulkan botol kosong untuk kami isi ulang saat kami turun menuju saung Pak Cahyu yang berjarak sekitar 700 meter dari tenda. Sedikit tersentak ketika berdiri dan melihat sekitar, tanpa disadari tenda kami sudah di kepung oleh tenda-tenda lainnya, seperti imam yang diaping oleh makmum. Ciee.
.... All the flowers are gone away, He has gone away again
Carrantuohill and cliffs of Moher, and last night he came to me .... (LJE – The Longing Dance)
Pak Cahyu Pahlawanku. Sungguh, kami diizinkan berwudhu menggunakan air yang beliau “kunjal” sangat jauh. Air yang sangat bersih dan dingin, kaya si dia L. Karena bersih, Pak Cahyu menawarkan untuk mengisi botol-botol kosong untuk persediaan kami. Setelah solat magrib kami luangkan waktu untuk mengobrol dengan Pak Cahyu, seputar Artapela, seputar keluarganya, kepedulian beliau mengurus kebersihan area camp, dan banyak lagi. Artapela beruntung memiliki Pak Cahyu, teringat kebaikannya ketika mengucapkan “Kesini aja neng kalau butuh apa-apa mah, air juga kalau habis kesini aja”.  Mungkin karena tahu kami hanya bertiga dan perempuan semua, beliau lebih perhatian pada kami, padahal saya tahu sejatinya Pak Cahyu memang orang yang sangat baik.
Api Unggun, kami tentu tak ingin melewatkannya meskipun beberapa gunung mulai melarang membuat api unggun di area camp mengingat saat itu juga sedang musim kemarau yang tentu membahayakan kelestarian alam jika terjadi kebakaran. Namun aku melihat tumpukan kayu bakar yang lumayan banyak di saung Pak Cahyu, aku pikir apa boleh yaaaa. Kulihat beliau memiliki tungku, aaaahhh mungkin itu kayu bakar persediaan beliau selama menginap disini. Tapi hati ini tetap greget. “Pak, di area camp boleh bikin api unggun gak?” aku yang spontan. “Boleh neng, neng mau bikin api unggun?” jawabnya. Waaahhhh senaaanggg. Kami bertiga langsung saling tatap dan tersenyum-senyum (saling tatap antara aku, Tha dan Vela yaaa). Kami membeli kayu yang sudah disiapkan oleh Pak Cahyu. “Nanti aja bapak anterin kayunya sambil patroli neng, kasian berat” tuturnya. Cieee fix Pak Cahyu adalah Dilannya Artapela.
.... We let the waters rise, We drifted to survive
So I could care just before we, Collapsed, collapsed, collapsed
Oh, how the darkness keeps it’s grip? .... (Natalie Taylor – Surrender, Collapsed, Come to This)
Saat perjalanan kembali kedalam tenda, kulihat ada yang aneh dengan sorotan senter dan headlamp, tiba-tiba kudangahkan kepala melihat langit dan waaww, jutaan bintang menyambut kami, indah sekali. Jauh tetapi sinarnya membuat bumi hampir seterang pagi hari dan kuberbisik dalam hati “Kini dan esok adalah hari baik”. Dan yeah kami lapar kembali. Tha membuka lapak untuk memasak, Vela membongkar timbunan makanan. Mie instan + tahu + rumput laut, sosis panggang, rendang buatan ibu Fatmawati siap disantap, serta kebab dan pizza yang hanya dalam imajinasi saja, karena ribet jika kedua makanan itu kami bawa naik gunung, tak lupa teh Thailand tetap mewangi disekitar tenda kami membuat banyak bisik-bisik manja dari tenda lain . Ditengah kenikmatan yang Allah SWT berikan untuk perut kami, tiba-tiba sorotan senter yang lebih dari satu mengarah pada tenda kami, sungguh kaget dan ayam ayam ayam (ih latah). Hati kami berdebar dan sedikit takut ada apa ini.
Effect slow motion dan terdengar lantunan
See ya never gone my way .....
Better will someday ....
Never far away .... (Heize & HSJ – Round and Round)
Ku tak percaya momen seperti ini akan terjadi, semakin sorotan mendekat dan menyilaukan mata kami, dengan perlahan munculah sesosok pria menghampiri dengan dua orang teman dibelakangnya, menggunakan kupluk dan syal leher, dengan botol air di tangan kirinya. Sama seperti ketika kau ditunjuk gurumu untuk maju kedepan dan mengisi soal di papan tulis, hatiku pun berdebar seperti itu, persis. Jangan berpikir yang tidak-tidak ketika membaca ini karena akupun menyesal beberapa detik kemudian. Persoalan dijantungku berakhir dan berpindah pada tangan yang menyangga pada tanah tiba-tiba menjadi lemas ketika kulihat satu teman dari pria didepannya memeluk seikat penuh kayu bakar. Gubrakk.
“Neng, masih ada airnya? hehe kayu bakarnya mau sekalian bapak “hurungin”?” ucap Pak Cahyu, si pria berkupluk. Seketika musik slow motion yang terngiang dalam imajinasi ini berhenti dan berganti dengan suara-suara riang tawa dari tenda lain yang entah menertawakan apa, namun dalam situasi seperti ini jiwa baperku bangkit, tawa mereka seperti tertuju pada kebobrokan imajinasiku. Aku malu pada diriku dan gunung tempatku berpijak saat itu. Pak Cahyu datang untuk berpatroli diseluruh area camp bersama dua temannya, sekaligus membawakan kami kayu bakar dan air untuk berjaga-jaga bila di butuhkan, saat itu sekitar pukul 08.00 malam.
.... A whole new world,
a new fantastic point of you (Zayn Zhavia – A Whole New World)
Saatnya berkencan dengan api unggun, kami bertiga keluar tenda dan duduk diatas matras mendekat pada sumber kehangatan, kuputar lagi playlist musik di handphoneku dan bersenandung lembut mengikuti irama musik dan lenggokan api yang saling berpautan. Kami bertiga menyenderkan punggung satu sama lain. Ditengah candaan yang tak ada habisnya datanglah seorang pria dari tenda samping menghampiri kami dengan langkah yang sedikit ragu, dalam hati ini bergumam “kisah pria yang menghampiri, lagi?”. Ku sebut si pria micin, karena datang untuk meminta sesuatu yang kami tak punya, micin.
.... Up’s the only direction I see
As long as we keep this, low low low low low low low lowkey .... (NIKI - Lowkey)
Api mengecil, dan waktu menunjukkan pukul 10.00 malam. Kami adalah wanita-wanita disiplin, meskipun bisa saja kami begadang menghabiskan malam indah yang sayang jika dilewatkan, namun kami terbiasa menempatkan sesuatu sesuai porsinya, jika dirasa cukup yasudahlah. Beberapa batang kayu kami sisakan untuk api unggun kedua di subuh hari, karena itulah saat-saat paling dingin di atas gunung. Semua alat dan makanan kami amankan didalam tenda kecuali sepatu, matras dan kayu bakar.
.... sumi meojeul deut, sirin tongjeungi
Jaebit haneurae bulkge muldeureoganda ... (Kim Yuna – Be Colored)
Tentu saja tidur kami tak nyenyak, disamping tenda yang dikelilingi beberapa tenda lain dengan jarak yang lumayan dekat, hal biasa dari pendaki pada umumnya adalah semakin malam adalah waktu yang semakin asik untuk berisik. Dan benar saja, tengah malam sangat riuh dengan obrolah dan candaan bahkan teriakan. Ketika malam menjadi sangat dingin barulah sepi membuat tidur kami sedikit nyenyak.
....Nae gaseumeun haneopsi badakkaji
Nareul dulleossaneun modeun ge duryeowojyeo .... (Rosseane – If It Is You)
Seperti biasa azan subuh berkumandang dari handphone Vela saat tidur sedang nyenyak-nyenyaknya. Kami bangun untuk mencuci wajah dan menyikat gigi secara bergantian menggunakan air sedingin es. Sungguh aktivitas itu kami lakukan disaat semua tenda sepi, konyolnya kami mengendap-endap supaya tak mengganggu mereka yang sedang tertidur. Tayamum dan solat subuh di atas matras dan samping tenda selesai, dingin sekali. Embun membasahi benda disekitar kami. Aku dan Vela menyiapkan kompor dan gas portable, greentea dan ovaltine untuk membuat hot chocolate. Sedangkan Tha mengumpulkan alumunium foil dan bahan yang akan dia gunakan untuk membuat api. Pikir kami mengulangi nikmatnya kehangatan api unggun semalam adalah ide yang bagus sebelum sunrise tiba, maka acara camping ceria kami hari itu akan terasa sempurna. Tak butuh waktu lama bagi Tha untuk menciptakan api, aku dan Vela bersorak ketika cahaya orange tersebut muncul dari kayu ditangan perkakas Tha. Masih kuingat sekali euforia kala itu, wajah-wajah segar bersih, tiga jenis minuman panas hampir selesai dihidangkan, tiga manusia pemburu perfecto dengan kaus kaki dan blanket corak The Nun siap pada posisi masing-masing mengelilingi api unggun.
.... Bad gyal no swalla nuttin’, word to the Dalai Lama
He know I’m s fashion killa, word to John Galliano .... (Jason D & Nicki M - Swalla)
Menggelitik kala mengingat kembali, kami tak menyangka akan merasa kehilangan disebuah tempat bernama gunung. Karena sebelumnya kami tak pernah punya pikiran buruk pada apapun dan pada siapapun. Kesempurnaan yang kami idamkan .. aaahh sedih ku menceritkannya L. Innalillahi Suluh kami HILANG.
.... So if you know .. the right way
Meomchujima tto geureoga .... (KTY - Voice)
Sungguh kami benar-benar kehilangan, kami tak bohong. Bahkan Tha dan Vela sangat sweet dan cute secara bersamaan, mereka “ngutruk” selama berjam-jam lamanya. Dan dosa kami yang kedua adalah dengan terus membahas kehilangan kayu bakar, menerka-nerka siapakah yang telah meminta kayu bakar namun lupa “bebeja”. Seketika bayangan malam ketika terlelap memenuhi pikiran kami, Tha yang merasa ada seseorang berjalan mengendap pelan disekitar tenda kami menjadi suudzon pertama untuk menebak pelaku pencurian kayu bakar berharga kami. Suudzon kedua datang dari Vela yang terbangun tengah malam ketika suara teriakan panik terdengar dari beberapa tenda sekitar 40 meter di hadapan kami, ternyata salah satu tenda disana terbakar saat dini hari, suudzon tersebut didasari oleh keyakinan bahwa saat malam api unggun hampir tak ada yang membuat api selain tenda kami. Aku tak memiliki suudzon lain, namun hanya menimbang kedua kemungkinan yang diutarakan Tha dan Vela.
.... They say it won’t be hard,
They can’t see the battles in my hearts .... (Julia Brennan – Inner Demons)
Minuman kami cepat dingin, dan tersambung dengan matahari muda yang mulai menyapa hangat kami para perantau ketinggian. Mendadak hampir seluruh penghuni tenda keluar untuk menyaksikan salah satu keajaiban alam dan mengabadikannya. Ekspresi tulus, haru dan rasa syukur hingga sulit berkata-kata menyatu menjadi kesatuan. Hal yang paling kubenci adalah saat itu, belum selesai dan puas ku menikmati magic dari suatu pagi, hatiku sudah rindu yang bahkan sialnya aku masih disana, masih berdiri ditempat yang akan kurindukan. Kau mengerti maksudku?
.... looking up at the sky, I think I see the start of a sunrise
And I will forgive myself, and start to let it go .... (Beth C – I Am Not Nothing)
Setelah puas dengan hasil jepretan kamera kami membuat sarapan, menghabiskan cemilan sebanyak yang kami bisa sehingga beban dalam carriel berkurang. Hangat mulai menjadi panas dan kami mulai packing untuk pulang. Banyak pasang mata tertangkap sedang memandang kami ketika packing carriel, mengumpulkan sampah, gotong royong membereskan tenda dan bahkan membantu mengangkat carriel secara bergantian. Suudzon selanjutnya adalah perasaan tak mau dikasihani muncul membuat kami dengan sengaja menciptakan banyak kekonyolan dan tawa yang tak ada hentinya demi mengusir rasa risih atas pandangan mereka dan mengkonfirmasi bahwa kami oke, kami perempuan dan baik-baik saja. Meskipun mungkin makna pandangan mereka bukan seperti yang kami pikirkan.
.... Girls like you run around with guys like me
‘til sundown, when I come through
I need a girl like you, yeah yeah .... (Hai Ha – Girls Like You)
Kami turun pada saat pendaki lain baru sarapan dan masih menikmati rebahan dihangatnya matahari pukul 09.00. Kami selalu seperti itu. Tak lupa pamit pada Pak Cahyu yang baik hati dan tidak “judes”, memberikan semua makanan yang tak sempat kami makan. Kebiasaan yang sulit diubah, camping semalam namun membekali diri dengan logistik untuk tiga malam. Percayalah kenistaan semua pecinta kuliner ada pada moto nya, “Hidup Untuk Makan, dan Makan untuk Hidup” kadang juga “Hidup adalah Udunan”.
.... The legends and the myths, The testaments they told
The moon and it’s eclipse ....(Aspen – Something Just Like This)
Pukul 10.00 pagi kami pamit undur diri. Selama perjalanan menuruni gunung Artapela kami ditemani deretan lagu dan musik yang kami sukai, membuat langkah kaki ini lebih panjang dari biasanya, tubuh ini melesat tak seperti biasanya, berlari meskipun tak ada niat untuk berlari. Tak ada keluh kesah, tak ada teriakan manja “Break”, tak selalu melihat jam tangan, banyak tersenyum seperti sudah gila. Tak ada kata menghemat tenaga, tak ada kata jaim, bertingkah seperti seorang samurai, spider girl. Maha memalukan. 11.30 siang kami sampai di basecamp. Satu setengah jam kami bisa turun, lalu mengapa ketika naik membutuhkan lima jam untuk sampai puncak, Wallahu a’lam.
.... I’d climb every mountain
And swim every ocean, just to be with you .... (Calum Scott – You Are The Reason)
Naik gunung dimomen Hari Kemerdekaan tidak harus selalu membawa bendera dan mengadakan upacara bendera lalu difoto dengan tangan menghormat pada bendera. Kami memaknai kemerdekaan negara kami ini dengan bersyukur  seikhlas-ikhlasnya, merealisasikan keinginan tanpa merepotkan orang lain, membiasakan untuk mandiri, berusaha membalas kebaikan orang lain, tidak meninggalkan kewajian pada sang pencipta, membuang sampah pada tempatnya, hemat air dan yang terpenting tidak mencuri kayu bakar orang lain, pray for hawu kami.
.... Two heart, one valve, pumpin’ the blood, we were the flood
We were the body and (Imagine Dragon – Birds)
Terimakasih Pak Cahyu, terimakasih api unggun, terimakasih bintang malan 18 Agustus 2019. Berani untuk lelah, berani untuk kotor dan berkeringat, berani untuk jauh dari rumah dan berani untuk terbatas. Maka yang ku dapatkan adalah teman yang saling menerima apa adanya, tidak mudah membenci sesuatu yang kurang indah, mampu bertahan ditempat yang asing tanpa merengek ingin pulang. Meskipun dengan segala keterbatasan yang ada, hati ini selalu berkata, ini hanya sementara. Tak apa untuk lapar dan haus, tak apa untuk kedinginan dan kurang nyenyak, tapi mata, hati dan pikiranku punya segalanya dan tak terbatas. Jalan untuk memuaskan rasa syukur, membuktikan bahwa apapun yang terjadi itulah yang terbaik untukku.
.... Now I like dollars, I like diamonds
I like stunting, I like shining .... (Cardy B – I like It)




Salam rindu dari kami Arth, Tha dan Vela J

0 comments:

Posting Komentar