Rabu, 13 Mei 2020

SULIBRA YANG TERTUNDA

Dari: Evy Laila F <evylailaf@gmail.com>
Date: Rab, 13 Mei 2020 12.57
Subject: cerita


Tahun 2016 silam Allah menuliskan dalam skenario hidupku untuk pergi bertafakur ke Gunung Artapela, sebuah gunung yang dulu masih sangat asing di telingaku. Ternyata kejadian-kejadian disana begitu melekat, hingga kini akanku torehkan dalam cerita pendek perihal pengalaman pendakian ke Gunung Artapela. Benar-benar tidak ada yang sia-sia,-kalaupun aku tidak menjadi pemenang, tetap tidak akan ada yang sia-sia-.
Kala itu, aku ingat betul di bulan Juli hari Jumat, pagi-pagi sekali aku dan tim yang berjumlah 4 orang terdiri dari 2 orang wanita dan 2 orang laki-laki berangkat menuju Artapela. Oh iya, kami bukan sedang double date hanya saja diantara orang-orang yang kami ajak, hanya kami yang memiliki waktu luang –dan dompet yang isi-. Tadinya, akupun memutuskan tidak ikut karna kurang asik rasanya jika hanya berempat, namun karena memang sudah digariskan untuk “mengukir jejak” disana, entah kenapa akupun ikut meski pada saat-saat mepet.
Kami sampai di posko sekitar pukul 11 siang, sementara laki-laki melaksanakan jumatan, aku dan rekan perempuan ku beristirahat serta membetulkan packing yang begitu berantakan. Sebelum memulai pendakian, kami sempat berbincang mengeni kondisi trek, peraturan dan pesan pesan dengan tim official artapela atau panitia atau mungkin tepatnya anak muda yang menjadi penanggung jawab posko tersebut, kejadian yang cukup lama dan banyaknya momen membuat ku tidak ingat siapa-siapa saja mereka, selain itu aku memang cukup payah dalam mengingat nama orang, butuh beberapa kali pertemuan untuk ingat.
Setelah semua dirasa siap, kami memulai perjalanan sekitar pukul 2 siang. Panasnya siang itu terasa kembali dikulitku, namun senyum-senyum masyarakat yang ramah seolah meneduhkan langkah kami. Sepanjang perjalanan kami pun disuguhkan oleh pemandangan yang luar biasa indah, sungguh.. “nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan?”
Jalan masih tidak telalu terjal, kami masih menikmati rangkaian perjalanan itu dengan alunan dzikir dalam hati kami masing-masing, “betapa kecilnya aku, betapa lemahnya aku, lantas apa yang bisa di sombongkan ? tapi, diatas semua kekuranganku, aku masih bisa berpegang dan bersandar pada Yang Maha Kuat, Yang Maha Sempurna. Allahu...” kurang lebih seperti itu yang selalu terlintas ketika menapaki gagahnya pegunungan.
Layaknya kehidupan, mendaki gunung pun tidak selalu landai, akan ada jalan terjal, becek, tak ada pegangan, sempit dan hal lain yang tidak terduga. Pun ketika mendaki Artapela, ada satu jalan yang begitu memiliki banyak kesan. Saking berkesannya kami mengabadikan trek tersebut. Kadang ketika mengalami jalan seperti ini rasanya ingin kembali saja, namun bukankah untuk mencapai tujuan harus ada jalan yang di tempuh? Ku pikir-piki, baru setengah pelajaran pun sudah banyak pelajaran yang bisa dipetik, mengenai kesabaran, mengenai pertolongan Allah, mengenai solidaritas, kasih sayang terhadap alam dan lingkungan, banyak sekali dan hikmah-hikmah akan bertambah jika kita terus melangkah maju.
Setelah melewati jalan tersebut, kami akhirnya memutuskan untuk beristirahat terlebih dahulu sekaligus melaksanakan salat Ashar. Seingatku disana mayoritas penduduknya adalah berkebun, ada beberapa warga yang naik ke atas menggunakan motor khusus untuk mengangkut hasil pekebunannya, belum lagi yang naik turun dengan telanjang kaki, bagiku hal itu keren sekali.. kalau aku belum tentu bisa melakukannya, ternyata para pekebun juga perlu sekali di beri penghargaan setinggi-tingginya atas dedikasi dalam kehidupan.
Cuaca yang mulai gelap serta rekan perempuanku yang mengalami sakit perut bagian bawah membuat kami memutuskan untuk mendirikan tenda di sebuah tanah yang membentang, tidak ada pepohonan disana. Kami mendirikan 2 tenda, kami –lebih tapatnya saya- agak kewalahan untuk mendirikan tenda dengan sempurna, tak apalah penyok yang terpenting bisa di pakai istirahat, meskipun bentangan tanah di bumi adalah tempat peristirahatan sejati bagi manusia.
Semakin malam, cuacanya semakin dingin.. namun bagiku dingin di Artapela masih bisa ditolerin, aku masih kuat tanpa sarung tangan dan jaket, hanya saja kondisi rekanku malah semakin sakit sehingga kamipun istirahat lebih awal. Alih-alih ingin meneguk segelas teh atau kopi hangat, kami merasa kebingungan karena rekan kami sakit namun masih memaksakan diri,-sepertinya dia merasa tidak enak pada kami. Satu hal yang menarik dalam sebuah perjalanan adalah kamu bisa menemukan orang-orang di titik aslinya dengan segala sifat dan sikap yang melekat pada mereka masing-masing.
Entah pukul berapa, sayup-sayup aku mendengar suara “kresek kresek” seperti ada yang memainkan keresek. Awalnya aku pikir, hanya sebuah trashbag yang terkena angin. Namun, “kresek-kresek” itu terdengar lagi dalam durasi yang lebih lama. Aku yang bukan pemberani sekaligus tidak tegaan hanya bisa diam memandangi wajah teman ku yang tertidur pulas, karena di bakar oleh rasa penasaran, aku pun mengintip melaui celah resleting tenda, ku dapati pemandangan yang membuat ku terbungkam.
Dua ekor anjing sedang mengobrak-ngabrik trashbag yang berisi bekas makan malam kami, aku khawatir anjing anjing tersebut akan menggigit tenda kami juga hehehe apalagi suasana disana sepi, tidak ada pendaki lain selain kami, tidak ada tenda lain selain tenda kami. Suara itu pun hilang, namun tak lantas membuatku terlelap, aku memejamkan mata sambil mempertajam pendengaran.
Suara adzan awal mulai bersautan, pertanda subuh kan tiba. Aku bangunkan rekanku untuk melaksanakan shalat subuh, ternyata ia kedatangan tamu. Pantas saja kemarin ia mengeluh sakit, sebagai perempuan aku tau betul bagaimana sakitnya, apalagi jika harus berjalan menanjak dengan beban di pundak. Alhamdulillah, sejauh ini Allah memberinya kekuatan.
Seusai sarapan pagi, kami berkemas memunguti sampah yang ada di sekitar sana meskipun ada  sampah-sampah yang bukan berasal dari kami.
Bukankah memang jangan meninggalkan apapun kecuali jejak dan jangan mengambil apapun kecuali foto ? Ah iya mengenai foto, kami tak punya banyak foto ketika disana, karena belum ada 1 pun foto kami berempat, akhirnya kamipun berfoto sebelum melanjutkan perjalanan ke puncak sulibra. Kami melanjutkan perjalanan dengan membawa trashbag sembari memunguti sampah yang kami temui disepanjang perjalanan. Aku tak begitu ingat siapa yang mengusulkan untuk pergi ke Artapela dan apakah sebelumnya sudah pernah kesini atau tidak, aku benar-benar tidak ingat, yang jelas ketika kami melanjutkan perjalanan kami merasa jalan itu tidak benar, buntu dan dibawahnya terdapat makam-makam, berulang kali rekan ku yang lelaki mencari jalan, namun nihil. ia mengatakan tidak ada jalan. Entahlah, sepertinya kami memang salah jalan, yang aku ingat sebelum ke makam-makam kami melewati sebuah rumah mirip gudang penyimpanan aku tidak tau apa didalamnya, namun dari luar ada tumpukan padi.
Selama pencarian jalan, rekan perempuanku kepalang sakit, tidak tahan, akhirnya dengan mempertimbangkan beberapa hal, keinginan kami untuk bertemu puncak sulibra pun kandas. Ekspektasi yang tak bisa tereksekusi, pertemuan yang belum menemukan jalan, rasanya seperti nano-nano. Dengan mencoba ikhlas, berat langkah kamipun pulang, selama perjalanan pulang kami terus saling menguatkan satu sama lain dan menguatkan diri sendiri, “tidak apa-apa, Insyaallah masih ada hari lain”.
Meski dengan suasana hati yang berbeda, alam tetap ramah menyambut kepulangan kami pun dengan orang orang sekitaran yang masih konsisten dengan senyuman yang mengembang. Kami sampai di sebuah mushola dekat dengan posko tepat sebelum adzan dzuhur berkumandang. Air wudhu membelai wajah kami yang kala itu benar-benar kucel tak karuan,. Selepas pamit dengan segala ucapan terimakasih, kamipun melanjutkan perjalanan ke rumah masing-masing.
Memang segala sesuatu yang belum waktunya tak bisa dipaksakan, mungkin kami yang terlalu tergesa-gesa dalam mempersiapkan segalanya dan kurang perhitungan dalam memutuskan, maka kami perlu belajar lagi untuk mempersiapkan segala kemungkinan terburuk sekalipun. Aku sama sekali tidak menyesal pergi kesana, justru sebaliknya aku bersyukur. Sehebat apapun rencana kita, tetap perlu ACC dari Allah, perlu persetujuan, perlu tanda tangan, perlu ridho. Maka dari itu, keikhlasan terhadap rencana-Nya akan memperbaiki kekurangan dan kelemahan yang ada pada diri kita.
Sekian ceritaku serta segala sesuatu yang penting-tak penting di dalamnya, mudah-mudahan bisa menjadi pengingat sekaligus pembelajaran. Terimakasi kepada tim artapela official yang telah turut membukakan kenangan dan pembelajaran penting perihal kehidupan ini, semoga kelak aku bisa menuntaskan pertemuan dengan sulibra.
Salam.

0 comments:

Posting Komentar