Dari: Evy Laila F <evylailaf@gmail.com>
Jalan
masih tidak telalu terjal, kami masih menikmati rangkaian perjalanan itu dengan
alunan dzikir dalam hati kami masing-masing, “betapa kecilnya aku, betapa lemahnya aku, lantas apa yang bisa di
sombongkan ? tapi, diatas semua kekuranganku, aku masih bisa berpegang dan
bersandar pada Yang Maha Kuat, Yang Maha Sempurna. Allahu...” kurang lebih
seperti itu yang selalu terlintas ketika menapaki gagahnya pegunungan.
Cuaca
yang mulai gelap serta rekan perempuanku yang mengalami sakit perut bagian
bawah membuat kami memutuskan untuk mendirikan tenda di sebuah tanah yang
membentang, tidak ada pepohonan disana. Kami mendirikan 2 tenda, kami –lebih
tapatnya saya- agak kewalahan untuk mendirikan tenda dengan sempurna, tak
apalah penyok yang terpenting bisa di pakai istirahat, meskipun bentangan tanah
di bumi adalah tempat peristirahatan sejati bagi manusia.
Date: Rab, 13 Mei 2020 12.57
Subject: cerita
Subject: cerita
Tahun
2016 silam Allah menuliskan dalam skenario hidupku untuk pergi bertafakur ke
Gunung Artapela, sebuah gunung yang dulu masih sangat asing di telingaku.
Ternyata kejadian-kejadian disana begitu melekat, hingga kini akanku torehkan
dalam cerita pendek perihal pengalaman pendakian ke Gunung Artapela.
Benar-benar tidak ada yang sia-sia,-kalaupun aku tidak menjadi pemenang, tetap
tidak akan ada yang sia-sia-.
Kala itu, aku ingat
betul di bulan Juli hari Jumat, pagi-pagi sekali aku dan tim yang berjumlah 4
orang terdiri dari 2 orang wanita dan 2 orang laki-laki berangkat menuju
Artapela. Oh iya, kami bukan sedang double
date hanya saja diantara orang-orang yang kami ajak, hanya kami yang
memiliki waktu luang –dan dompet yang
isi-. Tadinya, akupun memutuskan tidak ikut karna kurang asik rasanya jika
hanya berempat, namun karena memang sudah digariskan untuk “mengukir jejak”
disana, entah kenapa akupun ikut meski pada saat-saat mepet.
Kami sampai di posko
sekitar pukul 11 siang, sementara laki-laki melaksanakan jumatan, aku dan rekan
perempuan ku beristirahat serta membetulkan packing yang begitu berantakan.
Sebelum memulai pendakian, kami sempat berbincang mengeni kondisi trek,
peraturan dan pesan pesan dengan tim official artapela atau panitia atau
mungkin tepatnya anak muda yang menjadi penanggung jawab posko tersebut,
kejadian yang cukup lama dan banyaknya momen membuat ku tidak ingat siapa-siapa
saja mereka, selain itu aku memang cukup payah dalam mengingat nama orang,
butuh beberapa kali pertemuan untuk ingat.
Setelah semua dirasa
siap, kami memulai perjalanan sekitar pukul 2 siang. Panasnya siang itu terasa
kembali dikulitku, namun senyum-senyum masyarakat yang ramah seolah meneduhkan
langkah kami. Sepanjang perjalanan kami pun disuguhkan oleh pemandangan yang
luar biasa indah, sungguh.. “nikmat Tuhan
mana lagi yang kamu dustakan?”

Layaknya kehidupan,
mendaki gunung pun tidak selalu landai, akan ada jalan terjal, becek, tak ada
pegangan, sempit dan hal lain yang tidak terduga. Pun ketika mendaki Artapela,
ada satu jalan yang begitu memiliki banyak kesan. Saking berkesannya kami
mengabadikan trek tersebut. Kadang ketika mengalami jalan seperti ini rasanya
ingin kembali saja, namun bukankah untuk mencapai tujuan harus ada jalan yang
di tempuh? Ku pikir-piki, baru setengah pelajaran pun sudah banyak pelajaran
yang bisa dipetik, mengenai kesabaran, mengenai pertolongan Allah, mengenai
solidaritas, kasih sayang terhadap alam dan lingkungan, banyak sekali dan
hikmah-hikmah akan bertambah jika kita terus melangkah maju.
Setelah melewati jalan
tersebut, kami akhirnya memutuskan untuk beristirahat terlebih dahulu sekaligus
melaksanakan salat Ashar. Seingatku disana mayoritas penduduknya adalah
berkebun, ada beberapa warga yang naik ke atas menggunakan motor khusus untuk
mengangkut hasil pekebunannya, belum lagi yang naik turun dengan telanjang
kaki, bagiku hal itu keren sekali.. kalau aku belum tentu bisa melakukannya,
ternyata para pekebun juga perlu sekali di beri penghargaan setinggi-tingginya
atas dedikasi dalam kehidupan.

Semakin malam, cuacanya
semakin dingin.. namun bagiku dingin di Artapela masih bisa ditolerin, aku
masih kuat tanpa sarung tangan dan jaket, hanya saja kondisi rekanku malah
semakin sakit sehingga kamipun istirahat lebih awal. Alih-alih ingin meneguk
segelas teh atau kopi hangat, kami merasa kebingungan karena rekan kami sakit
namun masih memaksakan diri,-sepertinya dia merasa tidak enak pada kami. Satu
hal yang menarik dalam sebuah perjalanan adalah kamu bisa menemukan orang-orang
di titik aslinya dengan segala sifat dan sikap yang melekat pada mereka
masing-masing.
Entah pukul berapa,
sayup-sayup aku mendengar suara “kresek
kresek” seperti ada yang memainkan keresek. Awalnya aku pikir, hanya sebuah
trashbag yang terkena angin. Namun, “kresek-kresek”
itu terdengar lagi dalam durasi yang lebih lama. Aku yang bukan pemberani
sekaligus tidak tegaan hanya bisa diam memandangi wajah teman ku yang tertidur
pulas, karena di bakar oleh rasa penasaran, aku pun mengintip melaui celah
resleting tenda, ku dapati pemandangan yang membuat ku terbungkam.
Dua ekor anjing sedang
mengobrak-ngabrik trashbag yang berisi bekas makan malam kami, aku khawatir
anjing anjing tersebut akan menggigit tenda kami juga hehehe apalagi suasana
disana sepi, tidak ada pendaki lain selain kami, tidak ada tenda lain selain
tenda kami. Suara itu pun hilang, namun tak lantas membuatku terlelap, aku
memejamkan mata sambil mempertajam pendengaran.
Suara adzan awal mulai
bersautan, pertanda subuh kan tiba. Aku bangunkan rekanku untuk melaksanakan
shalat subuh, ternyata ia kedatangan tamu. Pantas saja kemarin ia mengeluh
sakit, sebagai perempuan aku tau betul bagaimana sakitnya, apalagi jika harus
berjalan menanjak dengan beban di pundak. Alhamdulillah, sejauh ini Allah
memberinya kekuatan.
Seusai sarapan pagi,
kami berkemas memunguti sampah yang ada di sekitar sana meskipun ada
sampah-sampah yang bukan berasal dari kami.

Bukankah memang jangan meninggalkan apapun kecuali jejak dan
jangan mengambil apapun kecuali foto ? Ah iya mengenai foto, kami tak punya
banyak foto ketika disana, karena belum ada 1 pun foto kami berempat, akhirnya
kamipun berfoto sebelum melanjutkan perjalanan ke puncak sulibra. Kami
melanjutkan perjalanan dengan membawa trashbag sembari memunguti sampah yang
kami temui disepanjang perjalanan. Aku tak begitu ingat siapa yang mengusulkan
untuk pergi ke Artapela dan apakah sebelumnya sudah pernah kesini atau tidak,
aku benar-benar tidak ingat, yang jelas ketika kami melanjutkan perjalanan kami
merasa jalan itu tidak benar, buntu dan dibawahnya terdapat makam-makam,
berulang kali rekan ku yang lelaki mencari jalan, namun nihil. ia mengatakan
tidak ada jalan. Entahlah, sepertinya kami memang salah jalan, yang aku ingat
sebelum ke makam-makam kami melewati sebuah rumah mirip gudang penyimpanan aku
tidak tau apa didalamnya, namun dari luar ada tumpukan padi.
Selama pencarian jalan,
rekan perempuanku kepalang sakit, tidak tahan, akhirnya dengan mempertimbangkan
beberapa hal, keinginan kami untuk bertemu puncak sulibra pun kandas. Ekspektasi
yang tak bisa tereksekusi, pertemuan yang belum menemukan jalan, rasanya seperti
nano-nano. Dengan mencoba ikhlas, berat langkah kamipun pulang, selama
perjalanan pulang kami terus saling menguatkan satu sama lain dan menguatkan
diri sendiri, “tidak apa-apa, Insyaallah
masih ada hari lain”.
Meski dengan suasana
hati yang berbeda, alam tetap ramah menyambut kepulangan kami pun dengan orang
orang sekitaran yang masih konsisten dengan senyuman yang mengembang. Kami
sampai di sebuah mushola dekat dengan posko tepat sebelum adzan dzuhur
berkumandang. Air wudhu membelai wajah kami yang kala itu benar-benar kucel tak
karuan,. Selepas pamit dengan segala ucapan terimakasih, kamipun melanjutkan
perjalanan ke rumah masing-masing.
Memang segala sesuatu
yang belum waktunya tak bisa dipaksakan, mungkin kami yang terlalu tergesa-gesa
dalam mempersiapkan segalanya dan kurang perhitungan dalam memutuskan, maka
kami perlu belajar lagi untuk mempersiapkan segala kemungkinan terburuk
sekalipun. Aku sama sekali tidak menyesal pergi kesana, justru sebaliknya aku
bersyukur. Sehebat apapun rencana kita, tetap perlu ACC dari Allah, perlu
persetujuan, perlu tanda tangan, perlu ridho. Maka dari itu, keikhlasan
terhadap rencana-Nya akan memperbaiki kekurangan dan kelemahan yang ada pada
diri kita.
Sekian ceritaku serta
segala sesuatu yang penting-tak penting di dalamnya, mudah-mudahan bisa menjadi
pengingat sekaligus pembelajaran. Terimakasi kepada tim artapela official yang
telah turut membukakan kenangan dan pembelajaran penting perihal kehidupan ini,
semoga kelak aku bisa menuntaskan pertemuan dengan sulibra.
0 comments:
Posting Komentar