Rabu, 13 Mei 2020

Prolog buku manajemen Pendakian gunung Indonesia

PENDAHULUAN
Gunung merupakan tempat yang tidak biasa untuk di huni manusia, khususnya gunung yang memiliki ketinggian di atas 2.000 mdpl, ketika ingin berkunjung kesana harus memiliki persiapan khusus dari berbagai aspek.Setidaknya ada 4 aspek yang harus diperhatikan dalam mendaki gunung. Pertama adalah gunung sebagai objek media berkegiatan yang artinya pendaki harus mengetahui data-data gunung tersebut, kedua adalah pendakinya sebagai subjek pelaku, ketiga peralatan pendakian sebagai perlengkapan mendaki , keempat adalah logistik makanan sebagai penunjang. Selain itu ada beberapa faktor yang tak kalah penting yaitu pengetahuan keilmuan mendaki gunung, etika lingkungan dan budaya keadatan. Aspek pendaki sebagai subjek merupakan penentu keberhasilan pendakian gunung. Kelalaian manusia secara pribadi atau antar pribadi dalam kelompok menjadi cikal bakal kecelakan (subjectif danger). Persiapan peralatan, persiapan dana, persiapan skema transportasi, persiapan fisik, dan lain sebagainya. Namun banyak orang yang memandang sepele mengenai persiapan fisik, sehingga berbagai kecelakaan di gunung menjadi hal sangat mungkin terjadi.
Prinsipnya Semakin lama kita berada di gunung, semakin banyak yang harus di persiapkan, semakin cepat kita ke gunung semakin sedikit hal yang harus di siapkan. Jangan berlama-lama di gunung bila kita tidak mempunyai tujuan jelas, hanya untuk menikmati suasana gunung tidak perlu waktu berlama, tanpa keberadaan manusia gunung akan memperbaharui ekosistemnya, gunung sebagai ayat nyata tuhan akan memberikan ketenangan bagi pikiran dengan bagaimanapun caranya mendaki. Alam akan selalu bercerita kepada seluruh indra yang ada pada manusia melalui desir angin, dingin yang menusuk kulit, awan yang menggumpal, tumbuhan dan pohon yang berdiri tegak, batuan yang menjulang dan lainnya, semua itu merupakan interaksi alam yang akan berbisik baik secara lansung ataupun tidak yang akan mendidik dan memberikan pelajaran kepada manusia untuk bisa beradaptasi dengannya. Sehingga hadirnya buku ini bisa semoga jadi inspirasi kepada para pendaki gunung, untuk bersama-sama menjadi pendaki yang setidaknya mandiri tidak menyusahkan teman pendakian atau bahkan harus repot orang lain mengevakuasi karena kelalaian kita dalam melakukan pendakian gunung, serta hadirnya buku ini semoga bisa menambah khasanah keilmuan  pendakian gunung, khususnya di gunung Indonesia.
Mendaki gunung identik dengan melakukan sebuah Camping, mendirikan tenda di gunung, membuat perapian dengan membakar kayu di hutan, membawa bekal makanan begitu banyak. Bahkan masih ada yang mendaki gunung untuk berburu, mencari kayu bakar sampai dengan melakukan ritual pesugihan. Hal tersebut memang bukan merupakan sesuatu yang tidak benar, banyak manfaat yang bisa dirasakan oleh para pendaki itu sendiri seperti  menjadi percaya diri, menambah keberanian atau menambah daftar tempat yang dikunjungi kemudian di upload dalam media sosial. Hal demikian bukan masalah serius yang akan menyebabkan bencana bagi masyarakat banyak. Namun sayangnya, para pendaki yang tidak dibekali pengetahuan tentang mendaki gunung menjadikan tingkat kecelakaan mendaki gunung bertambah, sampah di gunung berserakan, dan ekosistem  terganggu. Data menyebutkan sampah yang ada di gunung Gede Pangrango pada tahun 2013 mencapai 14 ton, perubahan ekosistem di gunung sedikit berubah, tingkat kecelakaan pada kurun waktu 2014-2015 meningkat (sumber:berbagai sumber) meskipun sebenarnya itu bukan sepenuhnya kesalahan para pendaki, namun perlunya pengetahuan serta perubahan dari cara mendaki, sistem yang di tetapkan, peraturan yang berimbang, serta pengelolaan yang berkelanjutan. 
Dari dulu Sampai saat ini mendaki gunung menjadi trend yang masih digemari para penikmat ketinggian. Bahkan penikmatnya semakin meningkat sejak tahun 2014, setelah kemunculan film-film bernuansa pendakianmuncul di layar lebar, dari sejak itu mulai bermunculan pendaki-pendaki baru yang penasaran untuk mendaki gunung yang akhirnya ketagihan dan menyebarlah ke yang lain akhirnya menjadi wabah mendaki gunung.Memang akan banyak perdebatan dalam hal banyaknya pendaki gunung, namun kepada siapa harus mengadu entahlah kepada siapa. Padahal komunitas pendaki gunung sangat banyak sekali, hampir di setiap desa, kecamatan, dan kota memiliki komunitas pendaki gunung. Di sektor kampus saja, banyak sekali organisasi Pecinta Alam (PA) yang mewadahi salah satunya kegiatan mendaki gunung. Namun anehnya hampir tidak ada lembaga pemerintah yang ingin mewadahi komunitas para pendaki gunung atau pecinta alam, entah kenapa?aku juga tak tahu, tanyakan saja pada rumput yang bergoyang.
Cara menikmati keindahan gunung tentu berbeda dengan bentuk dan adat yang di miliki sendiri. Sampai saat ini belum ada standar pasti yang baku dalam melakukan pendakian gunung, entah kenapa namun yang pasti setiap gunung memiliki kekhasannya masing-masing sehingga berbeda pula cara maupun teknik mendakinya. Melakukan pendakian gunung memang membutuhkan banyak aspek untuk mendukung pendakian tersebut, baik itu segi fisik, mental, strategi, perhitungan yang matang, serta banyak lagi hal yang lainnya. Banyaknya ilmu yang menunjang untuk pendakian gunung tidak menutup kemungkinan, orang yang mendaki gunung biasanya memiliki kecerdasan di atas rata-rata secara intelektual, emosional dan sosial dan harusnya cerdas secara spiritual. Namun persepsi mendaki gunung hanya sebagai pelepas galau, melakukan botram, mencari jodoh,bisa menutup manfaat besar dari mendaki gunung. Tapi banyak juga orang awam yang tidak pernah naik gunung,biasanya mereka mengatakan buat apa mendaki gunung?Memang itu hal sulit untuk dijawab jika belum pernah merasakannya, paling kita bilang “nanti juga loe tau” seperti kaya diiklan gitu, dan silahkan kalau mau tahu kenapa mendaki gunung rasakan sendiri sama elo gitu.
Ada orang mendaki gunung karena perintah orang lain, tapi kebanyakan orang mendaki berasal dari inisiatif sendiri yang bisa jadi awalnya ketertarikan melihat orang lain. Jarang sekali orang yang dibayar karena mendaki gunung (kecuali porter/pemandu) artinya mereka telah memompa diri untuk melakukan sesuatu yang tidak ada manfaat secara materi namun bermanfaat secara emosi. Secara tidak di sadari orang yang mendaki gunung telah melakukan sekolah, karena belajar menghadapi kondisi alam dan terpaan alam semestaakan membuat kita lebih dewasa dan banyak tahu akan pendakian, pengalaman mengajarkan banyak hal seperti sikap, mental, fisik, kepribadian, keterampilan dan kedewasaan berfikir,“hebat lah pendaki gunungmah”.
Mendaki gunung bukanlah aktivitas cepat saji, bagaikan mie instan begitu ingin mendaki bisa lansung berangkat. Itu yang memang banyak terjadi pada para pendaki di Indonesia karena mungkin menganggap gunung Indonesia tidak terlalu tinggi sehingga menganggap remeh mendaki gunung.Manajemen Pendakian Gunungpersepsi mendaki gunung masa kini merupakan salah satu bentuk usaha manusia untuk bisa menikmati keindahan alam sekaligus mendapat manfaat sehat dan kebugaran jasmani.Manajemen Pendakian Gunungmemiliki peranan penting selain itu beberapa manfaat selain untuk diri pribadi tetapi tidak kurang manfaat untuk alam nya itu sendiri. Dengan melakukan manajemen pendakian akan membuat pendakian kita menjadi nyaman dan yang paling penting kita membawa barang yang tepat sehingga tidak akan membuang sampah yang dibawa tidak terlalu banyak, tidak merusak ekosistem gunung karena kita tidak terlalu lama berada digunung serta manfaat lainnya yang bisa didapat dari Manajemen Pendakian Gunung.
Untuk memahami pendakian gunung, buku ini akan memandu bagaimana melakukan pendakian gunung, model pendakian mana yang bisa di lakukan sesuai dengan kondisi anda. Buku ini juga menjelaskan penentuan grade gunung dengan sistem baru dalam mendaki gunung di Indoenesia, dengan itu menambah keilmuan baru dalam pendakian gunung di Indoensia.  Buku ini terdiri dari 5 shelter (bab) , dimana kesemuanya mengandung unsur management, olahraga, psikologi, kondisi fisik, kepecinta alaman dan keilmuan lainnya. 

0 comments:

Posting Komentar